Putus Asa Airin




  
Hari ini, 06 Februari 2006 ...           
Airin termangu menatap kertas kosong di depannya. Hatinya semakin ngilu dirasakannya. Setiap ingatan tentang kejadian itu, seolah semakin perih menusuk dadanya. Tapi, kertas bisu itu hanya ditatapnya dengan pandangan yang semakin kabur. Kabur oleh butiran air yang terus membasahi matanya.
            Tidak. Tidak. Aku tak boleh menangis, Airin memerintahkan dirinya sendiri. Bagaimanapun ia tahu, tangisan tak akan membuat semuanya semakin jernih. Bahkan hanya akan memaksanya pada kesedihan tak berujung. Dan penyesalannya akan semakin dalam menguburnya.
  
Satu Hari yang Lalu, 05 Februari 2006 ...
            “Airin, tak ada gunanya kamu merengek dan meminta lagi. Hati aku ... Ah, kamu pikir apa aku ini bukan manusia? Kamu tahu, kamu paling tahu bahwa rasa sayangku selama ini sama kamu, melebihi apapun yang bisa aku kendalikan. Aku sudah berikan semua bahkan melebihi kemampuan yang aku tahu. Tapi sekarang? Kamu mau bilang apa lagi?”
            Airin menatap lantai tempat Jedi berpijak. Pandangannya begitu gelisah, begitu penuh penghibaan. Airin hanya bisa terduduk di lantai dingin tak ramah. Telah berulangkali ia mengemis di lutut Jedi. Ia akhirnya hanya mengerti, kesalahannya telah begitu besar hingga tak mampu mendapat seucap kata maaf dari pemuda yang berdiri sedih di depannya.
            Dengan sisa kekuatan batin yang Airin punya, ia mengangkat telapak tangannya yang sedari tadi berpijak di lantai bisu itu. Ia rengkuh lutut Jedi, sungguh jika boleh ia ingin merasakan kembali pelukan Jedi yang selalu hangat menyambut keringkihannya. Namun, dalam perabaan yang bisa ia pahami, sambil memeluk lutut pemuda itu, ia tahu bahwa Jedi tak akan memeluknya. Tidak sekarang. Saat hatinya hancur menyesali semua dalam keterlambatan tak terhindar.


  
Dua Hari Yang Lalu, 04 Februari 2006 ...
            “Jedi! Kamu pulang duluan aja, ya?” Airin menghampiri kekasihnya.
            “Sayangku manisku, ada apa sih? Kok tumben hari ini nggak mau bareng sama aku? Ada janjian, ya? Ada tugas kelompok lagi?” Jedi menatap lembut mata gadis cantik didepannya. Kekaguman Jedi terpancar dalam tatapannya yang hangat. Ya, Jedi telah sadar dalam waktu yang cukup lama untuk mengerti. Mengerti bahwa cinta yang selama ini ia pernah miliki sebagai perasaan merindu akan makna seseorang, adalah cinta yang terlahir sebagai perasaan sucinya kepada Airin. Baginya, Airin adalah gadis belia yang tak manja bahkan cenderung nekat. Airin, Airin. Entah mengapa, meski gadis itu selalu tampil dengan keacuhan dan ketidakdewasaannya, justru menghanyutkan Jedi pada perasaan ingin selalu memberi cinta terindah dan ungkapan kasih terhangat demi melindungi kerapuhan tersendiri milik gadis itu.
            “Sori deh, Jed! Aku emang lagi janjian ama temen. Ada urusan kampus bentar. Biasa tuh, temen lagi angot. Gak enak kan kalo ditelantarin? So, gak papa kan kalo aku gak bareng dulu?” Airin nampak sibuk memainkan jemarinya di sisi deretan buku kuliah yang dipeluknya. Mata Airin nampak mencari jawaban di mata Jedi. Sesaat, tak lama. Setelah itu, matanya nampak bermain-main dengan pandangan sekitar, sambil sesekali mencoba menangkap reaksi Jedi.
            Jedi memandang airin dengan tersenyum simpul. Itulah Airin, sosok yang tak bisa serius menatap mata meski pembicaraan sedang intim sekalipun. Acuh, tapi sarat keingintahuan yang memancarkan energi dan semangat dari karakter seorang Airin. Sulit dikendalikan, tak mudah ditebak, spontan, impulsif, independen, namun bisa sangat sembrono. Mungkin itulah yang menggambarkan seorang Airin selama kedekatannya dengan Jedi. Bahkan Airin tak pernah terlihat romantis dalam kesehariannya, kurang pandai untuk menyenangkan hati kekasihnya. Tapi Jedi sadar, ia mencintai Airin dengan segala hal pada dirinya, termasuk sikap pasif gadisnya. Ia tahu, Airin hanya terjebak dalam kecanggungan karena sikap manis kekasihnya, atau bahkan bisa dibilang sengaja tidak ingin memperlihatkan sisi romantisnya secara langsung. Ya, meskipun acuh dalam mayoritas waktunya, Airin tetaplah gadis yang bisa mengerti Jedi dengan segala kekurangannya. Airin juga bisa memberi kejutan-kejutan romantis dalam skala ekstrim pada waktu-waktu tak terduga, entah di hari ultah Jedi atau di hari-hari biasa, walaupun bisa dihitung dengan jari.
            “Baiklah kalau itu alasan Sayang. Tapi janji ya, jangan sampai pulang larut lagi hari ini. Aku lihat, belakangan ini Sayang sering sibuk sama temen-temen, jarang ada di rumah kalau aku telpon. Aku cuma takut aja Sayang kecapean.”
            “Oke, deh! Kamu tenang aja, aku bisa urus diri sendiri kali. Udah ya, aku cabut dulu. Bye!” Setelah tersenyum sekadarnya, Airin segera berbalik dan berlari meninggalkan Jedi yang masih berdiri di samping motornya.
            Jedi tersenyum miris. Ya, harus bagaimana lagi. Berulangkali Airin pergi dengan keacuhan seperti itu, seolah tanpa merasa bersalah tentang bagaimana bersikap terhadap seorang kekasih. Tapi, Jedi lebih memilih menerima dengan kelapangan hati dan bersabar. Mungkin suatu waktu, Airin bisa mencintai dengan lebih baik. Ya, ia selalu berharap demikian. Jedi rela, meski nampaknya butuh waktu yang tak sebentar untuk mendapatkan hati Airin seutuhnya.
            Tak jauh dari tempat Jedi berada, Airin gelisah menunggu taksi di dekat gerbang kampus. Airin gelisah karena tak ingin Jedi menemukannya menunggu taksi sendirian, bukannya sedang bersama teman seperti yang dikatakannya kepada Jedi.
            “Akhirnya, nongol juga tuh taksi.” Airin mendesah lega.
            Sepanjang perjalanan di dalam taksi menuju ke rumahnya, Airin tak henti membayangkan bagaimana perasaan Jedi jika tahu bahwa sejak lima hari lalu, ia telah menjalin kembali hubungan mesra dengan mantan kekasihnya, Fandi. Ya, lelaki jenis playboy terakhir yang pernah meninggalkan Airin saat masih menjalani masa-masa kegelapannya.
            “Fandi, kamu udah lama nyampe sini? Aku kan udah bilang kita jangan ketemu di rumahku seperti ini.” Dengan manja, Airin memeluk bahu Fandi yang sedang duduk di teras. Fandi menyambut pelukan mesra Airin di belakangnya sambil mengecup mesra pipi Airin yang bersandar di pundaknya.
            “Emangnya kenapa, Honey? Aku tuh, kangeen banget. Gak sabar nunggu kamu di kosan. Kita langsung cabut, yuk! Kamu pasti laper kan?! Makan yuk!” Fandi memainkan jemarinya pada lengan Airin yang menggelayut di bahunya, sambil ditengoknya wajah Airin yang berada tepat di samping wajahnya.
            “Oke, deh! Aku ganti baju dulu, ya? Kan malu kalo gak wangi.” Airin baru saja hendak bangkit dari sisi Fandi ketika tiba-tiba pergelangan tangannya ditahan oleh jemari Fandi.
            “Honey, kamu itu udah cantik dan segar. Tapi ..., pake baju yang seksi ya?”
            “Hahaha. Dasar mesum kamu!” Airin pun bergegas masuk ke dalam rumah.
            Airin tersenyum dalam hati. Sudah lama ia rindu akan kesenangan ini. Dia tahu, Fandi hanya seorang playboy kacangan yang tak pernah sungguh-sungguh akan ucapannya. Tapi entah mengapa, Airin hanya tahu bahwa ia senang bisa bersenang-senang lagi seperti yang dulu selalu dilakukannya. Airin hanya tahu, saat ini ia tak perlu lagi kesepian sendiri dengan perasaan sabar yang terbatas.
  
            Sore itu, Jedi mengendarai motornya dengan perasaan letih. Dibayangkannya, pasti sangat menyenangkan jika ia bisa segera merebahkan tubuhnya di kamar kosannya saat itu juga. Tapi, Jedi tahu, ia hanya harus bersabar mengendarai motornya dengan hati-hati menuju kosannya. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukan Airin saat itu ya? Mungkin Airin sedang asyik dengan obrolannya bersama temannya. Jedi sangat tahu, Airin sangat senang mengobrol. Airin anti menggosip karena menurutnya itu hanya dilakukan cewek-cewek kurang kerjaan dan gak mutu. Tapi Airin sangat senang mendengar curhat teman-temannya dan memberi saran atau sekedar membahas perasaan yang ada saja. Di sisinya, Airin tak banyak bicara. Tapi di sisi teman-temannya, Airin adalah sosok yang selalu berbicara, seolah kewalahan dengan isi pikirannya sendiri.
            Jedi baru saja hendak melaju cepat ketika dilihatnya pemandangan yang menampakkan sosok yang amat dikenalnya di teras sebuah rumah, di antara sederetan perumahan sempit. Sosok itu? Airin? Jedi menghentikan motornya sesaat dipinggir jalan sempit itu. Seorang pemuda berpenampilan modis nampak sedang merangkul bahu Airin disampingnya. Tampak mereka bersenda gurau akrab, bahkan mesra menuju ke dalam rumah. Jedi menatap pemandangan mengagetkan itu dengan pandangan bertanya-tanya, apa gerangan yang Airin lakukan dengan seorang lelaki yang bisa leluasa merangkulnya seperti itu? Apa ia saudaranya? Lantas, perlukah Airin tertawa mesra sambil menyandarkan kepalanya pada lelaki itu? Airin, benarkah itu Airin?
            Jedi memarkirkan motornya di depan pagar rumah itu, lalu ia memasuki halaman sempit rumah itu menuju teras. Seorang pemuda yang lain lagi keluar dari pintu rumah itu.
            “Eh, Mas! Masuk aja kalo mau cari temennya yang ngekos disini. Gapapa kok!” Sambil merokok kembali, pemuda itu berlalu meninggalkan Jedi dan keluar halaman. Jedi mulai paham, rumah itu mungkin adalah sebuah rumah kos.
            Jedi masuk ke ruang dalam, dilihatnya sederetan motor bersandar di sisi dinding ruangan dalam. Jedi menuju ke arah koridor selanjutnya, lalu matanya tertuju pada sandal yang biasa dipakai Airin berada di depan sebuah pintu. Jedi mendekati pintu itu, hening. Jedi pelan-pelan membuka pintu itu. Tanpa suara, pintu itu terbuka perlahan ke dalam.
            Jedi terpana. Rasa malu menyergap dirinya tatkala memergoki seorang lelaki tengah mencumbu mesra seorang gadis. Namun, tiba-tiba amarah timbul tak terbendung ketika dilihatnya gadis itu adalah Airin.
            “Bajingan!” Ditariknya paksa kaos lelaki itu. Dengan amarah yang ada, ditinjunya wajah lelaki itu hingga terjatuh ke belakang dan meringis kesakitan.
            “Jedi!” Sambil berteriak Airin menghampiri Jedi yang hendak meninju lagi lelaki itu. “Jedi, hentikan!” Airin sekuat tenaga menarik lengan Jedi yang hendak melayangkan tinjunya.
            “Haaah!!!” Dengan wajah berapi-api, dihempaskannya Airin hingga gadis itu terduduk di lantai berlinang airmata. Jedi menatap Airin yang memandanginya, Jedi menatap dengan wajah paling bengis yang pernah ia tunjukkan. Jedi menurunkan lengannya cepat, lalu meninggalkan Airin dan kamar kosan itu dengan tak perduli. Sementara, Airin masih terduduk lemas, hanya terdiam di lantai.
            “Airin?” Lelaki yang tak lain adalah Fandi itu, mendekati Airin sambil mengulurkan tangannya menyentuh Airin.
            Airin dengan tiba-tiba mengibaskan tangan, menepis tangan Fandi. Airin menangis. Menangis pilu sekali.
  
Lima Hari yang Lalu, 01 Februari 2006 ...
            Airin memandang HP silvernya sambil mendengus kesal. Sudah sebulan berlalu sejak awal kuliah Jedi di tahun keempatnya. Sebagai mahasiswa yang tengah memulai skripsinya, Jedi mulai mengabaikan kehadiran Airin. Airin seperti kesal dengan keadaan yang menuntutnya harus bersabar menanti kabar Jedi yang tak jelas lagi ritme-nya.
            “Bip bip bip ...” Dengan bergegas Airin membuka pesan baru di hapenya. Bukan Jedi, tapi Fandi! Airin tersenyum senang, lalu diketiknya sms balasan untuk Fandi.
            OK. TAR MLM KYKNY AQ GAK ADA PLAN. SO, QTA KTEMUAN DI DISTRO KEMAREN Y!
            Airin melempar hapenya ke tempat tidur, lalu merebahkan tubuhnya. Airin tersenyum senang membayangkan ia tak perlu lagi melewatkan semalaman menunggu kehadiran Jedi yang lebih banyak alpa-nya. Fandi. Airin tahu Fandi itu memang bukan lelaki yang tulus dan tidak sekaliber Jedi. Airin sebenarnya telah lama melupakan Fandi. Dua tahun lamanya Fandi seperti lenyap dari kehidupannya. Dan siapa sangka, kemarin ia bertemu kembali di sebuah toko kaset di kota. Ah, Fandi masih keren memang. Tapi tetap saja, Fandi masih juga memancarkan aura playboy murahan yang senang menggoda dan jual pesona.
            Airin tersenyum lagi mengingat betapa ia dulu begitu bodohnya mengharap cinta dari makhluk sebejat Fandi. Yang penting, kali ini ia takkan termakan Fandi lagi. Ia pun hanya ingin bersenang-senang. Hitung-hitung, ia bisa melupakan hari-hari membosankan dengan ketidakhadiran Jedi. Lagipula, Jedi tahu bahwa Airin bisa dekat dengan siapa saja yang memang ia mau. Airin tersenyum lega, tanpa rasa sedih dan khawatir.
  
Hari ini, 06 Februari 2006 ...
            Airin menghapus airmatanya. Rasa ngilu di dadanya perlahan mulai tiada. Ia harus kuat, ia harus sanggup menulis kalimat untuk mengatakan betapa menyesal atas kelakuannya. Betapa ia sangat sadar, Jedi hanyalah satu orang yang mampu membuat ia benar-benar sanggup merasakan kasih sayang, betapa ia tak sanggup berdiri tanpanya. Airin menegakkan penanya, menggores kalimat di atas kertas putih yang masih kosong dan basah di hadapannya.
“Jika orang lain bisa memiliki senyuman dan tawaku seperti yang kamu iri-kan,
sesungguhnya hanya sedikit senyumku untukmu lah yang paling nyata.
Jika aku bahkan rela berlari menghampiri orang lain dengan antusiasnya,
sesungguhnya hanya langkah terbata untuk kamu lah yang paling tulus dari hatiku.
Maaf kalau aku hanya mencintai kamu dengan segala ragu,
tapi sesungguhnya aku menyayangimu dengan segenap hatiku.
Tapi, jika hanya dengan cintamu yang seperti selama ini yang mampu membuat aku memperoleh kembali kehidupanku yang lama ku abaikan,
lantas apa yang bisa membuat aku mengerti hidupku sepeninggalmu?”
            Airin memandang kembali tulisannya itu. Miris hatinya memandang bingkai foto disampingnya. Foto ketika Jedi masih mau memeluknya mesra, bukan memandang bengis karena benci. Ketika Jedi masih rela menghapus airmatanya, bukan hanya diam dengan tangan terkepal karena amarah.
            Airin perlahan meraih cutter di dekatnya. Dilekatkannya sisi tajam pisaunya di atas kulit pergelangan tangannya yang bernadi. Tangannya gemetar, seolah gentar. Tapi, dipejamkan matanya erat sekali. Airin tahu ia takkan mampu lagi melihat amarah Jedi akan kebusukan  dirinya. Airin menyerah dengan semua kekosongan dan keputusasaan yang ditinggalkan oleh Jedi. Jedi tak bergeming, Jedi tak menatapnya. Airin lelah membayangkan dirinya tanpa orang yang bisa tulus mencintainya dan membuatnya merasa dibutuhkan.
            “Ahh..” Sepercik darah menetes, lalu dengan sentakan keras berikutnya, darah pun bermuncratan keluar. Lebih deras, lebih merah.
            Airin kesakitan, terjatuh ke lantai.
            Ya Tuhan. Mengapa aku tiba-tiba takut, aku takut mati. Aku hanya ingin bisa bersama Jedi sekali lagi. Sekali lagi, meski untuk terakhir. Jedi ... Jedi .... Gelap menutupi penglihatan Airin, hingga matanya tertutup. Wajahnya seolah tak kesakitan lagi. Airin tertidur, terbaring tenang di lantai. Di lantai kamarnya yang menyimpan banyak pajangan pemberian Jedi. Seolah mereka hanya menjadi saksi bisu yang beku dan tak bisa menangis.
  
Tiga Puluh Enam Hari Kemudian, 14 Maret 2006
            Jedi terduduk diam. Digenggamnya kertas putih dengan untaian kalimat Airin. Dipandanginya kertas itu sesaat, dialihkan matanya ke wajah Airin. Gadis itu tampak tertidur tenang, tanpa kegelisahan, tanpa rasa sedih. Hanya ada wajah tidur yang tak berekspresi. Digenggamnya jemari Airin, masih lemah dan tak bergerak.
            Airin terbujur kaku di tempat tidurnya. Suasana ruangan rumah sakit itu tampak sunyi. Hanya ada Airin yang tak bergerak, dan Jedi yang memandanginya dengan hati cemas disisinya. Sudah sebulan lebih sejak Airin ditemukan dalam keadaan pucat nyaris tak bernyawa di kamarnya. Kini Airin masih koma dan tak kunjuang siuman.
            “Airin.. Sayang..” Jedi membelai lembut kening Airin. Lembut sekali hingga Airin seperti tak merasakannya. Masih tanpa ekspresi, pucat dan lemah.
            “Aku sudah berulangkali membaca kalimatmu. Aku senang membacanya, Sayang.” Jedi tersenyum sesaat.
            “Sayang, aku akhirnya mengerti. Aku mungkin telah salah meminta terlalu banyak lagi, sementara aku tahu bahwa kamu sedang berusaha memberi. Aku lega kamu memberi cinta yang sama seperti yang aku punya. Tapi bukankah selalu ada ujian? Dan itu muncul dengan perbedaan kita dalam cara memberi.” Jedi membelai lembut kening pucat Airin.
            “Aku sadar. Aku pasti memaafkanmu. Aku pasti bisa memberi tempat baru untuk kamu. Mungkin yang lebih indah. Mungkin yang lebih berarti hingga kamu takkan berpaling lagi. Aku memberimu kesempatan kedua. Katakan, masihkah kamu tidak mau bangun, Sayang?”
  

6 comments:

  1. Waw... dalem banget, Say.
    Bukan cuma tentang mencari cinta lain karena bosan...
    Bukan cuma tentang cemburu biasa...
    Lebih dalam...
    Tentang proses yang sering dilewatkan...
    Karena hasil lebih dipentingkan...
    Lanjut!!!

    ReplyDelete
  2. gw baca lg wid..
    prasaan gw msh sama,teuteup terharu baca puisinya...hehehe...

    ReplyDelete
  3. Wowow.... Salut buat yang udah baca.... ternyata ada juga kesan di hati kalian dari diriku dan karyaku,,, hikz hikz,,,, tiada tara terharunya.... ^___^

    Tetep ingat-ingat untuk semangat berkarya juga ya buat kalian

    ReplyDelete
  4. Wied, bagus banget cerpennya. :-) Kalah jauh deh kemampuanku dalam menulis. he....he Four thumbs up for you.... :-)

    -Anggi-

    ReplyDelete
  5. lantas apa yang bisa menbuat aku mengerti hidupku sepeninggalmu.. hikz.. hikz..

    ReplyDelete
  6. @ Andie : kenapa sih suka quote yang itu?? hihihihi ^_^

    Kan maluuuuuu T_T... hihihihi

    ReplyDelete

 
Copyright © 2012 Main Kata : Blog Menulis dari Hati ~ Template By : Jasriman Sukri

Kamu bisa menulis deskripsi disini