Kita Mesti Telanjang



Aku meraih buku catatan warna merahku dari bawah bantal. Perutku seperti mendadak perih dan aku terduduk di lantai sebelah ranjangku. Kubuka lembaran catatan buku itu. Halaman pertama, air mataku berderai satu. Aku duduk seperti posisi berdoa di lantai. Tanganku masih lemah meraba tulisan catatan di atas ranjang. 

"Dalam kekalutan.. Masih banyak tangan yang tega berbuat nista"

Ujung jariku berhenti pada satu baris itu kini. Sakit yang semula terasa biasa, kini terasa sesak di dada. Dengan waktu yang telah aku jalani, akhirnya aku harus menyadari bahwa aku mendustai diriku sendiri. Satu air mataku itu menetes di catatan. Aku telusuri basahnya dengan ujung jariku pelan. Basahnya jatuh di baris tengah : 

"Kemanakah lagi, kita akan sembunyi." mataku bergerak ke baris lainnya "Tak ada yang bakal bisa menjawab". Bibirku basah dan kerongkonganku mulai terasa sakit. 

Aku bertanya apa gerangan yang menggelayuti fikiranku kini. Seperti ingin mengatakan kesia-siaan dan kebosanan belaka. Apakah aku mulai dikutuk dengan keputusasaan? Aku mulai menutup catatan itu dan menidurkan keningku di atas ranjang. Lantai masih terasa dingin di lututku, tapi aku masih enggan berbaring. Akhirnya aku mulai berdialog pada hatiku sendiri. Gerangan apa yang menggerogotiku di teriknya hari ini. Udara panas di luar. Deburan ombak pantai di kejauhan. Dan semilir meniup pohon kelapa di pelupuk atap rumah. Sementara ranjangku begitu sesak oleh perasaan bersalah dan mengeluh.

Jika dialog hati kuteruskan, akhirnya aku putuskan untuk diam sejenak tanpa merubah posisiku. Kubiarkan semua kram kaki dan sesaknya dada mendesak kritis pertanyaan-pertanyaanku. Apa yang sedang aku perbuat sekarang? apakah aku mengeluh? apakah semua yang sudah diperbuat adalah sia semata?

Aku pejamkan mataku dengan aroma apek sprei ranjangku yang semakin menusuk. Aku merasa sia-sia, ternyata bukan karena aku telah menyia-nyiakan mimpi dan impianku. Bukan juga karena aku tak percaya pada kemampuan dan imajinasi yang aku punya. Melainkan karena aku telah menjalani waktu yang aku punya dengan terlalu banyak kehilangan. Aku telah terlalu banyak kehilangan karena melewatkan waktu-waktu yang seharusnya bisa kuisi dengan lebih berani. Berani kecewa, berani merasa sakit, berani merasa kalah. Terlalu mulus jalan yang pernah aku pilih sebelum ini. Kemulusan ini meresahkanku, dan kenyamanan ini semakin menakutkanku.

Apa yang salah dengan menjadi telanjang? apa yang salah dengan menjadi hinaan dan cemoohan? sementara mimpi adalah sahabat orang-orang yang jatuh. Mimpi adalah dekat bila mereka berani menemukan jalan buntu. Aku bertaruh, terlalu banyak jalan buntu yang aku lewatkan. Sementara aku sempat lupa, jalan buntu mampu menguatkan langkahku, jalan berlubang mampu mengobarkan pendewasaanku, jalan gelap sekalipun mampu menjadikan aku melihat lebih banyak.

"Dalam kekalutan.. Masih banyak tangan yang tega berbuat nista"

Bahkan dalam menghidupi nyawa diri sendiri, kelalaian dan kemalasan kita sendiri pun bisa hadir secara tak sadar. Lewat pembelaan dan bantahan, lewat pembenaran dan alasan, kita terlalu banyak menghalalkan diri dengan ketidakberdayaan. Merasa tak sanggup padahal belum mencoba, merasa tak sempat padahal malas berfikir ulang, merasa tak perduli padahal kita sebenarnya ingin memperbaiki banyak hal tentang diri kita. Kenistaan dan ilusi, seperti semakin kentara dalam definisi menjalani hidup. Rasanya seperti dihempas, dan diberitahu, bahwa memang bumi beserta isinya ini hanya ilusi yang tak kekal.

Dalam keletihan dan kemarahan yang sangat, aku membuka lagi lembar catatan buku merahku itu. mataku kini bertumbuk pada kalimat paling pendek.

"adalah DIA di atas segalanya"

Aku terkejut membacanya. Seperti siraman sejuk yang aneh tapi mampu menguatkan tengkuk leherku menengadah. Aku edarkan pandanganku dengan cepat ke seluruh kamarku. Satu hal, entah bagaimana datangnya kekuatan yang menggerakkan arah mataku, satu hal yang kucari-cari. Dan di sanalah dia, sebuah kitab bersampul hijau dan kuning keemasan. Biarlah mereka menulis ironi tentang dosa. Biarlah mereka mengucap ironi tentang ampunan. Tapi kini, aku tahu juga. Aku tak mengenal diriku lebih baik dari siapapun. Bahkan tanpa sadar, aku masih terseok di dalam tubuhku sendiri.

1 comments:

  1. Dapet inspirasi darimana sih mbak wid, koq postnya keren2. :)

    ReplyDelete

 
Copyright © 2012 Main Kata : Blog Menulis dari Hati ~ Template By : Jasriman Sukri

Kamu bisa menulis deskripsi disini