Berharap Lalu Memintalah



Riri memperbaiki lipatan pashmina yang menutupi kepalanya. Pashmina merah itu nampak anggun menutupi rambut pekatnya. Riri duduk bersandar di kursi taman ditemani teman barunya, Linda.

"Aku telah mempertimbangkan semuanya. Aku yakin, pasti setelah memaafkan kesalahannya, dia akan menyadari semua dan melamarku lagi," Linda duduk gelisah menatap rumput taman indah itu.

"Aku berharap demikian, Linda." Seraya tersenyum, Riri kemudian melayangkan pandangannya ke ranting kokoh pohon tua di atasnya. "Linda, optimislah. Namun jangan semakin lemah oleh harapan itu. Sekalipun ia belum menjadi kenyataan, tetaplah optimis akan janjinya. Pemuda itu, pasti juga sedang berjuang dalam perang batinnya sendiri ketika kamu pernah tidak memaafkannya."

Linda menoleh ke arah Riri yang dengan tenang memejamkan matanya. Pashmina merah Riri berayun ujung-ujungnya oleh angin sejuk. Pohon tua ini seperti asyik menjaga keanggunan Riri. Perempuan berhijab yang baru ditemuinya ini, telah mengucapkan kalimat yang menyegarkan batinnya. Sungguh, Riri tidak memiliki cela untuk menguatkannya.

"Dulu sekali," Riri membuka matanya perlahan, "aku pernah begitu mencintai seseorang."

"Sepertimu," Riri melanjutkan, "aku begitu tergila-gila akan caranya memanjakanku."
Riri menunduk, menatap telapak tangannya yang mungil.

"Sampai suatu hari, aku putuskan bahwa dia sudah terlalu banyak mengecewakanku. Dan aku meyakinkan diriku, bahwa aku akan melepasnya tanpa dia tahu alasannya." Riri meremas rok panjangnya.

Linda sesaat tak percaya akan apa yang dilihatnya. Riri sepertinya bukanlah bidadari seperti semenit lalu dilihatnya. Riri seperti kembali menjadi manusia biasa.

"Seminggu kemudian, dia menghiba dan mengemis kesempatan kedua padaku. Untuk memperbaiki semuanya, meneruskan mimpi dan impian kami. Aku benar-benar melihat kesungguhannya. Dia benar-benar ingin membuat hubungan ini berhasil hingga ke pernikahan."

Linda merapatkan duduknya lebih dekat pada Riri. Digenggamnya punggung jemari tangan mungil Riri. Dengan penasaran ia pun bertanya, "Lalu? Apa yang terjadi?"

"Aku memaafkannya, sepenuh hatiku." Riri tersenyum ke arah Linda. "Apa kamu mengerti, ketika memaafkan sepenuhnya, kamu harus menata hati dan prasangkamu atas kesalahan silam?"

Terkejut, Linda memikirkan sejenak pertanyaan Riri. Sedikit bingung, ragu untuk memahaminya.

"Linda, saat itu aku berusaha sepenuh hati untuk melupakan kekecewaanku. Dan aku memaafkannya. Sampai sebulan setelah kami berbaikan, dia datang di hadapanku membawa kekasih yang baru dipilihnya setelah hampir kehilanganku."

Linda tercekat, terkejut oleh cerita yang didengarnya. Linda menutup mulutnya yang menahan kesal dan makian.

"Tidak, Linda. Aku tidak menyesal pernah memaafkannya. Aku tidak pernah menyesal pernah begitu keras berusaha berbaik sangka. Karena aku ingat," Riri menatap Linda dengan amat teduh, "doa yang aku panjatkan di masa memaafkan itu, bukanlah agar ia tersadar dan menjadi lebih baik. Aku berdoa, selalu berdoa agar Tuhan menyelamatkanku. Menjaga hati dan kehormatanku atas diriku sendiri. Dan ketika pemuda itu datang dengan membawa kekasih lain secepat itu, aku akhirnya mengerti, dia adalah hal buruk yang paling cepat dijauhkan dariku."

Linda mengangguk pelan. Memahami maksud Riri menjelaskan kisah sedih itu. Linda kini mengerti, ia harus menata hatinya untuk lebih percaya. Bukan kepada insan sesamanya, melainkan kepada penjaga hati yang sesungguhnya.

0 comments

Tambahkan Komentar Anda

 
Copyright © 2012 Main Kata : Blog Menulis dari Hati ~ Template By : Jasriman Sukri

Kamu bisa menulis deskripsi disini