Bagian 01
---
Pertemuan seharian itu di aula pertemuan Hotel Jayakarta Bandung baru saja selesai. Kami para pengisi acara dan panitia sedang asyik menghabiskan camilan yang masih tersisa dari coffee break terakhir. Sore semakin mendung terlihat di balik tirai jendela ruangan.Jabat tangan dan saling berfoto tampaknya jadi pemeriah suasana di ujung ruangan. Sedang aku masih lebih memilih mengunyah camilanku sambil merapikan laptop dan buku catatanku. Saking asyiknya, aku sampai tidak memperhatikan seorang pria tengah baya yang sedang mendekati arahku.
“ Mbak Diya… “ sapaanya agak mengejutkanku. Dengan senyuman hangatnya, pria itu menjulurkan tangannya hendak menjabat tanganku. Ciri khas dialog nusantara.
“ Pak Adri. Apa kabarnya?”, aku balas menjabat tangannya sambil berusaha menyelesaikan kunyahan camilan di mulutku.
Setelah itu, kami pun lama sekali berbincang tentang sebuah proyek wisata yang sedang aku kerjakan bersama timku di desa tempat asal Pak Adri. Desa yang saat ini sedang jadi topik utama selama pertemuan di hari itu.
“ Jadi, kapan Mbak Diya akan mampir lagi ke desa kami?” Pak Adri sangat rendah hati sekali tanpa pernah bosan mengundangku mampir dan bermain di desanya.
“ Saya pasti mampir dalam waktu dekat, Pak Adri. Apalagi, setelah pertemuan hari ini, pasti akan ada program kegiatan yang harus saya kerjakan dengan bantuan orang desa dan Bapak.”
Selanjutnya, memang sangat menyenangkan ketika kehadiran kita sangat dinantikan oleh sekelompok komunitas di tempat kita berkarya. Aku tersenyum sambil erat menjabat tangan Pak Adri, sebelum akhirnya saling berpisah. Bagaimanapun, Pak Adri memiliki desa yang sangat hangat seperti juga sosoknya. Pak Adri telah banyak sekali membuat pekerjaanku dan karyaku selama di desa, menjadi penuh senyum dan keinginan berbagi cerita.
---
Ada satu hari di mana aku memiliki pengalaman luar biasa di desa tempat Pak Adri dan keluarganya berasal. Mungkin aku belum sempat bercerita bahwa desa yang hangat dan tulus itu bernama Desa Babakan. Sebuah desa kecil yang letaknya sangat dekat dengan Pantai Pangandaran. Desa yang katanya memiliki potensi besar sebagai gerbang kawasan wisata Pantai Pangandaran Jawa Barat.
Hari itu aku menyusuri permukiman nelayan di Desa Babakan. Aku melewati deretan rumah-rumah rakyat modern yang sederhana dengan pekarangan luas. Antara rumah satu dengan rumah lainnya, sama sekali tidak dibatasi oleh pagar. Terbuka, membaur, dan pekarangannya diramaikan oleh anak-anak nelayan yang asik berlari-lari dari pekarangan satu ke pekarangan lainnya. Sesekali, anak-anak itu berlarian sambil bersembunyi di balik kait dan jalan yang bergelantungan di teras rumah. Pohon-pohon kelapa dan nangka, tersebar banyak di seluruh pekarangan seolah menjadi peneduh atap-atap rumah mereka.
Aku mengayuh sepedaku lambat-lambat. Menyusuri jalan permukiman yang hanya tanah berbatu besar tanpa terhalang parit ataupun pagar apapun. Hanya jalan terbuka yang berbaur dekat dengan pintu muka rumah-rumah nelayan di desa itu. Sesekali aku membenarkan letak caping, topi anyaman bambu di atas kepalaku. Caping yang kudapatkan dengan membujuk satu anak nelayan. Caping yang diatasnya tertulis besar nama anak yang memilikinya sebelum akhirnya berhasil melekat di atas kepalaku. Ujang namanya.
---
“Mbak Diyaaaaaa… … ,” tiba-tiba aku mendengar namaku sayup sayup dipanggil dari kejauhan. Sambil menurunkan satu kakiku dari sadel sepeda, aku berhenti dan menoleh ke arah asal suara itu.
“Mbak Diya main siniiii…!”
Sambil tersenyum lebar, aku melambaikan capingku ke arah satu pekarangan rumah. Rupanya itu teriakan panggilan dari bocah yang sedang bermain di teras rumahnya. Bocah perempuan yang tidak pernah diam setiap kali kupamerkan gambar-gambar berwarna selama ini. Bocah perempuan yang pernah dimarahi ayahnya karena mencuri peralatan mewarnaiku saat ketahuan sedang menggambar di kamarnya. Bocah perempuan bernama Ayu itu tidak pernah bisa menghentikan tangannya ketika asik menggambar denganku. Yah, mungkin menggambar dan mewarnai adalah dua hal yang paling aku kuasai di desa ini. Karena keduanya bisa mendekatkan hatiku dengan jiwa-jiwa tulus dari desa nelayan ini.
“Mbak Diya kesini yuuuuukkk… Kita maiiiiinnnn…!” Ayu terus berteriak tanpa sedikitpun membiarkan aku melanjutkan perjalanan bersepedaku karena terbujuk rayuannya untuk singgah dirumahnya lagi.
Sambil mengenakan capingku kembali, aku mengayuh sepedaku memasuki halaman rumah keluarga Ayu. Menyandarkan sepedaku, lalu meletakkan capingku di keranjang depan. Mungkin, ini tempat istirahatku yang pertama untuk sore ini di desa. Semoga aku bisa melanjutkan perjalananku nanti sebelum senja terlalu jingga.
(bersambung)…
0 comments
Tambahkan Komentar Anda